Keistimewaan bagi Para Penimba Ilmu di Bulan Ramadhan
Di Indonesia kehadiran bulan suci Ramadhan oleh umat Islam tidak melulu disambut sebagai bulan untuk memperbanyak ritual ibadah dan amal saleh. Sudah menjadi tradisi bahwa Ramadhan juga merupakan momentum untuk memperluas dan memperdalam ilmu agama. Tiap bulan puasa lazimnya pondok pesantren-pondok pesantren menggelar pengajian kitab tertentu yang tidak saja dibuka untuk para santrinya melainkan juga diperuntukkan bagi orang umum yang berminat mengikutinya. Pengajaran semacam itu biasa disebut sebagai pengajian pasaran, karena kegiatan dimaksud sudah di luar kurikulum resmi yang diterapkan oleh pondok pesantren tersebut.
Tidak hanya di pondok pesantren, kebanyakan masjid di desa-desa yang kental akan nuansa kesantriannya pada waktu-waktu tertentu umumnya juga mengadakan pengajian kitab yang khusus dikaji pada bulan Ramadhan yang pesertanya merupakan jamaah warga desa setempat. Begitu pula lembaga pendidikan formal dari tingkat SD hingga SMA pada bulan Ramadhan banyak yang sengaja memprioritaskan untuk pendalaman ilmu agama bagi para peserta didiknya yang kemudian dikenal dengan sebutan pesantren kilat.
Kegiatan menuntut ilmu atau belajar ilmu agama memang termasuk salah satu cara memuliakan dan menghormati bulan Ramadhan, selain memperbanyak ibadah seperti membaca Al-Qur'an, i'tikaf di masjid, salat-salat sunnah, sedekah, dan ibadah lainnya. Jika menimba ilmu pada bulan-bulan biasa saja memiliki banyak sekali keutamaan, maka apatah lagi pada bulan Ramadhan sudah pasti juga dilipatgandakan pahalanya.Dalam kitab Durratun Nasihin disebutkan hadist bersumber dari Anas bin Malik radliyallahu ‘anh, dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam yang bersabda, "Barangsiapa hadir di majelis ilmu pada bulan Ramadhan maka Allah menulis bagi orang tersebut tiap-tiap jangkahan kakinya sebagai ibadah satu tahun".
Banyaknya dibuka majelis-majelis ilmu serta terbukanya banyak kesempatan untuk memperdalam ilmu agama pada bulan mulia Ramadhan ini seyogianya tidak disia-siakan oleh umat Islam. Kesibukan dalam menjalani tugas pekerjaan keseharian bukanlah alasan seseorang tidak bisa mengikuti aktivitas menuntut ilmu. Bagi yang punya waktu longgar sebaiknya mengikuti pengajian kitab yang pengkajiannya lebih intensif sebagaimana yang digelar di pondok pesantren.
Bagi mereka yang memang tak punya banyak waktu luang dapat memilih alternatif majelis ta'lim yang pengajiannya lebih singkat sebagaimana yang diadakan di masjis-masjid. Sementara jika dua cara tadi tetap tak bisa lantaran memiliki jadwal kegiatan yang padat, setidaknya berusaha menimba ilmu lewat membaca buku-buku keagamaan yang mana penulis dan muatan isinya dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Dan semoga dengan bekal dan berkahnya ilmu yang kita peroleh selama bulan Ramadhan akhirnya bisa mengantarkan kita mampu menununaikan tugas-tugas manusia selaku Khalifah Allah di muka bumi ini sesuai dengan misi-misi kemanusiaan yang telah diamanahkan-Nya kepada manusia. Wallahu a'lam. (M. Haromain) (sumber nu.or.id)
-------------------------
Sejumlah Pandangan Perihal Keistimewaan Lailatul Qadar
Kehadiran lailatul qadar ditunggu oleh siapapun. Bahkan orang sekaliber
Nabi Muhammad pun menanti kedatangannya. Namun sayangnya, tidak ada seorang pun
yang tahu kapan kepastian harinya. Tampaknya, Allah SWT sengaja merahasiakannya
agar manusia senantiasa melanggengkan ibadah di bulan Ramadhan.
Dalam surat Al-Qadar ayat 3 disebutkan bahwa lailatul qadar lebih baik dari
seribu bulan (khairun min alfi syahrin):
ليلة القدر خير من ألف شهر
Ulama berbeda pendapat terkait maksud “lebih baik dari seribu bulan” dalam
ayat ini. Ibnu Bathal misalnya, dalam Syarah Shahih al-Bukhari mengatakan
sebagai berikut:
فإنها خير من ألف شهر، يعنى بذلك أن عملاً فيها بما يرضى الله ويحبه من صلاة ودعاء وشبهه خير من عمل فى ألف شهر ليس فيها ليلة القدر
Artinya, “Maksud dari ‘lebih baik dari seribu bulan’ ialah mengerjakan amalan yang diridhai dan disukai Allah SWT di malam tersebut, seperti shalat, do’a, dan sejenisnya, lebih utama ketimbang beramal selama seribu bulan yang tidak ada lailatul qadhar di dalamnya.”
Al-Mawardi di dalam kitab tafsirnya An-Nukat wal ‘Uyun memaparkan
lebih lengkap tafsiran ulama terkait maksud ayat di atas. Terdapat lima penafsiran
populer mengenai maksud “lebih baik dari seribu bulan”: Pertama, Ar-Rabi’
berpendapat bahwa lailatul qadar lebih baik dari umur seribu bulan. Kedua,
menurut Mujahid, beramal di lailatul qadar lebih utama dari beramal seribu
bulan di selain lailatul qadar. Ketiga, Qatadah mengatakan, lailatul qadar
lebih baik dari seribu bulan yang tidak terdapat di dalamnya lailatul qadar.
Keempat, Ibnu Abi Najih dan Mujahid mengisahkan, seorang dari Bani Israil pernah mengerjakan shalat malam hingga shubuh. Pada waktu paginya, dia berperang sampai sore. Rutinitas ini dilakukannya selama seribu bulan. Kemudian Allah SWT mengabarkan bahwa beribadah pada lailatul qadar lebih baik dari amalan yang dilakukan laki-laki tersebut, meskipun selama seribu bulan. Kelima, ada pula yang berpendapat, beribadah saat lailatul qadar lebih baik dari kekuasan Nabi Sulaiman selama lima ratus bulan dan kekuasaaan Dzul Qarnain selama lima ratus bulan.
Kendati ulama berbeda pendapat, namun pada hakikatnya semuanya sepakat
bahwa lailatul qadar adalah malam mulia yang sangat baik digunakan untuk
beribadah. Dalam sebuah tafsiran dikatakan, kata “seribu bulan” dalam ayat di
atas sebenarnya mengisyaratkan sepanjang hari. Artinya, sampai kapanpun
keutamaan lailatul qadar tidak tergantikan. Semoga kita diizinkan untuk beramal
saleh tepat pada malam yang sarat kemuliaan ini. Wallahu a’lam. (Hengki
Ferdiansyah) sumber nu.or.id
-------------------------
Memahami Keutamaan dan Esensi Zakat
Khutbah I
الحَمْدُ لِلهِ الَّذِيْ جَعَلَ الأَمْوَالَ عَوْنًا للمُؤْمِن على أمورِ
دِيْنِه وَدُنْيَاه، سبحانه من إله أَعْطَى الكَثِيْر كرَمًا منه وإِحْسَانًا،
وفَرَضَ الزّكاة عَلى عِبَادِهِ ابْتِلَاءً وامْتِحَانًا، وَلُطْفًا
بِالمُؤمِنِيْن وامْتِنَانًا، أحْمَدُه سبحانه على نِعَمِهِ. اَشْهَدُ أَنْ لاَ
اِلَهَ اِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لَاشَرِيْكَ لَهُ، شَهَادَةَ مَنْ هُوَ خَيْرٌ
مَّقَامًا وَأَحْسَنُ نَدِيًّا. وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا حَمَّدًا عَبْدُهُ
وَرَسُوْلُهُ الْمُتَّصِفُ بِالْمَكَارِمِ كِبَارًا وَصَبِيًّا. اَللَّهُمَّ
فَصَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَانَ صَادِقَ الْوَعْدِ وَكَانَ
رَسُوْلاً نَبِيًّا، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ الَّذِيْنَ يُحْسِنُوْنَ
إِسْلاَمَهُمْ وَلَمْ يَفْعَلُوْا شَيْئًا فَرِيًّا، أَمَّا بَعْدُ، فَيَا
أَيُّهَا الْحَاضِرُوْنَ رَحِمَكُمُ اللهُ، اُوْصِيْنِيْ نَفْسِىْ وَإِيَّاكُمْ
بِتَقْوَى اللهِ، فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ.
قَالَ اللهُ تَعَالَى : بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ، يَا اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا اتَّقُوْا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَاَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ
قَالَ اللهُ تَعَالَى : بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ، يَا اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا اتَّقُوْا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَاَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ
Jamaah shalat Jum’at as’adakumullâh,
Karunia Allah yang dilimpahkan kepada makhluk luar biasa besar. Meski
sering tak disadari, anugerah itu meliputi segala aspek kehidupan, mulai dari
yang fisik sampai nonfisik, mulai dari harta benda hingga kenikmatan yang tak
kasat mata seperti kewarasan akal sehat, kesehatan, hingga iman seseorang.
Tentang karunia berupa kekayaan, Allah melalui ajaran Islam mengajarkan manusia
untuk tidak hanya menerima tapi juga memberi, tak hanya memperoleh tapi juga
membagikannya. Di sinilah anjuran berzakat, berinfak, dan bersedekah menjadi
relevan dalam agama.
Karena begitu pentingnya zakat, Islam sampai menjadikannya sebagai salah
satu pilar pokok dalam berislam. Setiap umat Islam yang mampu wajib
mengeluarkan zakat sebagai bagian dari pelaksanaan rukun Islam yang ketiga.
Artinya, dalam urutan rukun Islam, zakat menempati deret rukun setelah shalat,
ibadah yang paling ditekankan dalam Islam karena menjadi cermin dari praktik
paling konkret penghambaan kepada Tuhan..
Al-Qur’an pun sering menggandengkan perintah zakat setelah perintah. Sedikitnya ada 24 tempat ayat Al-Qur’an menyebut shalat dan zakat secara beriringan. Contohnya sebagai berikut:
Al-Qur’an pun sering menggandengkan perintah zakat setelah perintah. Sedikitnya ada 24 tempat ayat Al-Qur’an menyebut shalat dan zakat secara beriringan. Contohnya sebagai berikut:
وَأَقِيمُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتُوا۟ ٱلزَّكَوٰةَ وَٱرْكَعُوا۟ مَعَ ٱلرَّٰكِعِينَ
“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang ruku'.” (QS. Al-Baqarah [2]: 43)
وَأَقِيمُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتُوا۟ ٱلزَّكَوٰةَ ۚ وَمَا تُقَدِّمُوا۟ لِأَنفُسِكُم مِّنْ خَيْرٍ تَجِدُوهُ عِندَ ٱللَّهِ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ بِمَا
تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
“Dan dirikanlah shalat
dan tunaikanlah zakat. Dan kebaikan apa saja yang kamu usahakan bagi dirimu,
tentu kamu akan mendapat pahala nya pada sisi Allah. Sesungguhnya Alah Maha
Melihat apa-apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Baqarah [2]: 110)
إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ ٱللَّهُ وَرَسُولُهُۥ وَٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱلَّذِينَ يُقِيمُونَ ٱلصَّلَوٰةَ وَيُؤْتُونَ ٱلزَّكَوٰةَ وَهُمْ رَٰكِعُونَ
“Sesungguhnya penolong
kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan
shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah).” (QS.
Al-Ma'idah [5]: 55)
Hal ini menandakan bahwa shalat sebagai ibadah spesial seorang hamba dengan
Allah tapi bisa terlepas dari keharusan untuk peduli pada kondisi masyarakat di
sekitarnya. Dengan bahasa lain, umat Islam yang baik adalah mereka yang
senantiasa memposisikan secara beriringan antara ibadah individual dan ibadah
sosial.
Sayangnya, rata-rata tingkat kesadaran untuk berzakat seringkali lebih
rendah daripada kesadaran untuk menunaikan shalat. Barangkali karena ada
anggapan “hasil kerja sendiri” dari harta kita yang membuat zakat terasa berat.
Belum lagi ditambah keinginan untuk menumpuk kekayaan sebanyak-banyaknya.
Tertanam sebuah pikiran bahwa jika harta semakin banyak, maka semakin mudah dan
enaklah kita menjalani hidup ini. Pandangan inilah yang kerap melengahkan
banyak orang bahwa sebenarnya di dalam kelebihan harta kita ada hak orang lain
yang sedang membutuhkan.
Jika demikian, orang-orang yang seharusnya berzakat namun tak menunaikan
kewajibannya sama halnya memakan hak orang lain. Dalam konteks ini, lantas apa
bedanya mereka dengan koruptor atau pencuri? Zakat secara bahasa bermakna suci.
Harta yang dizakati sesungguhnya dalam rangka proses penyucian atau
pembersihan. Tak mengeluarkan sebagian harta yang menjadi hak orang lain ibarat
tak membuang kotoran dalam perut bagi orang yang sudah saatnya buang air besar.
Sebagian kecil harta tersebut selayak kotoran yang bisa jadi menodai keberkahan
seluruh harta benda, menjalarkan penyakit tamak, atau menimbulkan keresahan
dirinya sendiri dan orang lain.
Jamaah shalat Jum’at as’adakumullah,
Zakat, juga infak, sedekah, dan sejenisnya merupakan ibadah yang utama
dalam Islam, terlebih dilaksanakan pada bulan Ramadhan seperti sekarang ini. Di
samping pahala yang berlipat, zakat menjadi sarana penguat usaha hamba
mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah dan mempererat tali solidaritas
terhadap sesama. Banyak orang yang menjadikan bulan ini sebagai bulan
zakat dan sedekah, kendati pun tak semestinya zakat dan sedekah selalu
dikaitkan dengan Ramadhan. Zakat adalah kewajiban yang bisa dilakukan pada
bulan apa saja ketika harta sudah memenuhi nisab atau jumlah wajib zakat.
Profesor KH Quraish Shihab berpendapat, ada fakta sangat menarik
mempelajari ketelitian redaksi Al-Qur'an, menyangkut kewajiban berzakat.
Kewajiban tersebut selalu digambarkan dengan kata atu – suatu
kata yang dari akarnya dapat dibentuk berbagai ragam kata dan mengandung
berbagai makna. Makna-maknanya antara lain istiqamah (bersikap jujur dan
konsekuen), cepat, pelaksanaan secara amat sempurna, memudahkan jalan,
mengantar kepada, seorang agung lagi bijaksana, dan lain-lain.
Jika makna-makna yang dikandung oleh kata tersebut dihayati, maka kita akan
memperoleh gambaran yang sangat jelas dan indah tentang cara menunaikan
kewajiban tersebut. Bahasa Al-Qur'an di atas, menurut beliau, menuntut agar:
Pertama, zakat dikeluarkan dengan sikap istiqamah sehingga tidak
terjadi kecurangan - baik dalam perhitungan, pemilihan dan
pembagiannya. Kedua, bergegas dan bercepat-cepat dalam pengeluarannya,
dalam arti tidak menunda-nunda hingga waktunya berlalu.
Ketiga, mempermudah jalan penerimaannya, bahkan kalau dapat mengantarkannya
kepada yang berhak sehingga tidak terjadi semacam pameran kemiskinan dan tidak
pula menghilangkan air muka. Keempat, mereka yang melakukan petunjuk-petunjuk
ini adalah seorang yang agung lagi bijaksana.
Kalau makna-makna di atas diperhatikan dan dihayati dalam melaksanakan
kewajiban ini, maka dapat diyakini bahwa harta benda yang dikeluarkan
benar-benar menjadi zakat dalam arti "menyucikan" dan
"mengembangkan" jiwa dan harta benda pelaku kewajiban ini.
Kesucian jiwa melahirkan ketenangan batin, bukan hanya bagi penerima zakat
tetapi juga bagi pemberinya. Karena kedengkian dan iri hati dapat tumbuh pada
saat seorang tak berpunya melihat seseorang yang berkecukupan namun enggan
mengulurkan bantuan. Kedengkian ini melahirkan keresahan bagi kedua belah
pihak.
Pengembangan harta akibat zakat, bukan hanya ditinjau dari aspek spiritual
keagamaan berdasarkan ayat Allah memusnahkan riba dan mengembangkan
sedekah/zakat (QS 2: 276). Zakat juga harus ditinjau secara
ekonomis-psikologis, yakni dengan adanya ketenangan batin dari pemberi zakat,
ia akan dapat lebih mengkonsentrasikan usaha dan pemikirannya guna pengembangan
hartanya. Di samping itu, pemberian zakat mendorong terciptanya daya beli baru
dan, terutama, daya produksi dari para penerima tersebut.
Khutbah II
اَلْحَمْدُ للهِ عَلىَ اِحْسَانِهِ وَالشُّكْرُ لَهُ عَلىَ تَوْفِيْقِهِ
وَاِمْتِنَانِهِ. وَاَشْهَدُ اَنْ لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ وَاللهُ وَحْدَهُ لاَ
شَرِيْكَ لَهُ وَاَشْهَدُ اَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ
الدَّاعِى اِلىَ رِضْوَانِهِ. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وِعَلَى
اَلِهِ وَاَصْحَابِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كِثيْرًا
اَمَّا بَعْدُ فَياَ اَيُّهَا النَّاسُ اِتَّقُوااللهَ فِيْمَا اَمَرَ وَانْتَهُوْا عَمَّا نَهَى وَاعْلَمُوْا اَنَّ اللهّ اَمَرَكُمْ بِاَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَـنَى بِمَلآ ئِكَتِهِ بِقُدْسِهِ وَقَالَ تَعاَلَى اِنَّ اللهَ وَمَلآ ئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِى يآ اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلِّمْ وَعَلَى آلِ سَيِّدِناَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَنْبِيآئِكَ وَرُسُلِكَ وَمَلآئِكَةِ اْلمُقَرَّبِيْنَ وَارْضَ اللّهُمَّ عَنِ اْلخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ اَبِى بَكْرٍوَعُمَروَعُثْمَان وَعَلِى وَعَنْ بَقِيَّةِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ وَتَابِعِي التَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِاِحْسَانٍ اِلَىيَوْمِ الدِّيْنِ وَارْضَ عَنَّا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَا اَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ
اَللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءُ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ اللهُمَّ اَعِزَّ اْلاِسْلاَمَ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَاْلمُشْرِكِيْنَ وَانْصُرْ عِبَادَكَ اْلمُوَحِّدِيَّةَ وَانْصُرْ مَنْ نَصَرَ الدِّيْنَ وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ اْلمُسْلِمِيْنَ وَ دَمِّرْ اَعْدَاءَالدِّيْنِ وَاعْلِ كَلِمَاتِكَ اِلَى يَوْمَ الدِّيْنِ. اللهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا اْلبَلاَءَ وَاْلوَبَاءَ وَالزَّلاَزِلَ وَاْلمِحَنَ وَسُوْءَ اْلفِتْنَةِ وَاْلمِحَنَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ عَنْ بَلَدِنَا اِنْدُونِيْسِيَّا خآصَّةً وَسَائِرِ اْلبُلْدَانِ اْلمُسْلِمِيْنَ عآمَّةً يَا رَبَّ اْلعَالَمِيْنَ. رَبَّنَا آتِناَ فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. رَبَّنَا ظَلَمْنَا اَنْفُسَنَاوَاِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ اْلخَاسِرِيْنَ. عِبَادَاللهِ ! اِنَّ اللهَ يَأْمُرُنَا بِاْلعَدْلِ وَاْلاِحْسَانِ وَإِيْتآءِ ذِى اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشآءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْي يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ وَاذْكُرُوااللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ زِدْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ اَكْبَرْ
اَمَّا بَعْدُ فَياَ اَيُّهَا النَّاسُ اِتَّقُوااللهَ فِيْمَا اَمَرَ وَانْتَهُوْا عَمَّا نَهَى وَاعْلَمُوْا اَنَّ اللهّ اَمَرَكُمْ بِاَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَـنَى بِمَلآ ئِكَتِهِ بِقُدْسِهِ وَقَالَ تَعاَلَى اِنَّ اللهَ وَمَلآ ئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِى يآ اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلِّمْ وَعَلَى آلِ سَيِّدِناَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَنْبِيآئِكَ وَرُسُلِكَ وَمَلآئِكَةِ اْلمُقَرَّبِيْنَ وَارْضَ اللّهُمَّ عَنِ اْلخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ اَبِى بَكْرٍوَعُمَروَعُثْمَان وَعَلِى وَعَنْ بَقِيَّةِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ وَتَابِعِي التَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِاِحْسَانٍ اِلَىيَوْمِ الدِّيْنِ وَارْضَ عَنَّا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَا اَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ
اَللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءُ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ اللهُمَّ اَعِزَّ اْلاِسْلاَمَ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَاْلمُشْرِكِيْنَ وَانْصُرْ عِبَادَكَ اْلمُوَحِّدِيَّةَ وَانْصُرْ مَنْ نَصَرَ الدِّيْنَ وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ اْلمُسْلِمِيْنَ وَ دَمِّرْ اَعْدَاءَالدِّيْنِ وَاعْلِ كَلِمَاتِكَ اِلَى يَوْمَ الدِّيْنِ. اللهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا اْلبَلاَءَ وَاْلوَبَاءَ وَالزَّلاَزِلَ وَاْلمِحَنَ وَسُوْءَ اْلفِتْنَةِ وَاْلمِحَنَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ عَنْ بَلَدِنَا اِنْدُونِيْسِيَّا خآصَّةً وَسَائِرِ اْلبُلْدَانِ اْلمُسْلِمِيْنَ عآمَّةً يَا رَبَّ اْلعَالَمِيْنَ. رَبَّنَا آتِناَ فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. رَبَّنَا ظَلَمْنَا اَنْفُسَنَاوَاِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ اْلخَاسِرِيْنَ. عِبَادَاللهِ ! اِنَّ اللهَ يَأْمُرُنَا بِاْلعَدْلِ وَاْلاِحْسَانِ وَإِيْتآءِ ذِى اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشآءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْي يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ وَاذْكُرُوااللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ زِدْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ اَكْبَرْ
Alif Budi Luhur (sumber :
nu.or.id)
Buku Saku Ramadhan
Buku Saku Ramadhan
Jama'ah Masjid Jami' Al Irfan dan kaum muslimin yan gberbahagia, bilamana ingin mendapatkan keterangan yang lengkap tentang Ibadah Ramadlan, kami persilahkan untuk mengunduh dan membuka lin berikut ini
0 komentar:
Posting Komentar